Seberapa Efektifkah Garam Beryodium?
Iodium dengan simbol kimia I adalah elemen nonlogam penting yang diperlukan tubuh dalam jumlah renik secara terus-menerus. Kekurangan yodium, khususnya pada anak-anak, sangat mengganggu pertumbuhan dan tingkat kecerdasan.
Oleh sebab itu, Unicef (badan PBB yang mengurusi kesejahteraan anak-anak) beberapa waktu silam, melalui dutanya bintang film James Bond 007, Roger Moore, pernah secara khusus datang ke Indonesia untuk mengampanyekan penggunaan garam beryodium. Hal serupa juga dilakukan Pemda Jawa Barat melalui media TVRI Bandung sekitar Februari 2003.
Yodium di alam tidak pernah ditemukan sebagai elemen tunggal,tetapi ia tersimpan di dalam senyawa, misalnya garam kalium peryodat (KIO). Dalam keadaan kering, garam ini sangat stabil sehingga bisa berumur lebih dari lima puluh tahun tanpa mengalami kerusakan.Itu sebabnya mengapa garam KIO dipakai sebagai suplemen untuk program yodisasi garam (atau garam beryodium).
Garam beryodium mengandung 0,0025 persen berat KIO (artinya dalam 100 gram total berat garam terkandung 2,5 mg KIO ). Berikutinidipaparkan carasederhana untuk menghitung berapa banyak KIO yang dikonsumsi seseorang. Andaikan seorang ibu rumah tangga dalam sehari memasak satu panci sup (kapasitas dua liter) dengan menggunakan dua sendok garam beryodium (misalnya dengan berat 20 gram), dan tiap-tiap anggota keluarga pada hari tersebut melahap dua mangkok (anggap volume total kuah 100ml). Maka,berat total garam KIO yang dikonsumsi tiap-tiap anggota keluarga itu dalam sehari (dengan asumsi tidak makan garam melalui makanan lainnya) adalah 0,0000025 gram atau 2,5 mikrogram (dari 0,0025% x 20 gram x 100 ml/200 ml). Jumlah garam yang sangat kecil, namun sangat diperlukan.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah kesemua 2,5 mikrogram KIO tersebut masuk ke dalam tubuh? Kalau tiap-tiap keluarga memiliki kebiasaan menaburkan garam ketika hidangan telah berada di atas meja makan (tidak pada saat memasak), maka jawabannya benar.
Kenyataannya tidak demikian. Karena hampir semua ibu rumah tangga selalu mencampurkan garam beryodium saat memproses makanan. Kalau hal ini dilakukan, maka kemungkinan besar yodium yang jumlahnya sangat kecil ini telah lenyap sebagai gas selama memasak.
Secara kimiawi, fenomena tersebut dijelaskan dari proses reduksi KIO. Reaksi reduksi ini sebenarnya berlangsung sangat lambat. Namun, laju reaksi bisa dipercepat jutaan kali lipat dengan bantuan senyawa antioksidan, keasaman larutan, dan panas. Seperti kita ketahui bahwa semua bahan makanan organik (hewan ataupun tanaman) selalu memiliki antioksidan, dan proses memasak selalu menggunakan panas serta terkadang ada asamnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan garam beryodium untuk ini menjadi sia-sia.
Percobaan sederhana untuk membuktikan lenyapnya yodium adalah dengan mencampurkan garam beryodium dengan antioksidan (bisa berupa tumbukan cabai atau bawang) dan asam cuka, yang kemudian direbus. Yodium yang lepas bisa diamati dari larutan kanji sebagai indikator. Bila berubah menjadibiru, pertanda yodium telah lepas sebagaigas.
Makanan laut
Sangat sulit mengubah kebiasaan ibu rumah tangga yang terbiasa membubuhi garam pada saat memproses makanan. Namun, program pemberian yodium masih bisa dilakukan dengan cara lain tanpa mengubah perilaku, yaitu melalui promosi penggunaan makanan laut. Kandungan yodium dalam makanan laut seperti ikan, kerang, cumi, atau rumput laut berkisar 0,0002 persen. Keuntungan konsumsi yodium melalui makanan laut adalah elemen yodium tersebut tidak hilang selama pemrosesan masakan. Selain itu, jumlah yang dimakan biasanya juga lebih tinggi (bila kita mengonsumsi 50 gram ikan laut, berarti yodium yang masuk setara 100 mikrogram yodium). Mungkin ini penjelasan mengapa jarang ditemui kasus kekurangan yodium pada orang-orang Eropa. Karena sejak dulu hingga kini, mereka mempunyai kebiasaan memakan ikan laut. Setidak-tidaknya, melalui kebiasaan menyajikan ikan (tidak ada daging) sebagai menu utama pada kebanyakan restoran atau kedai-kedai di setiap hari Jumat.
Sayangnya, kebanyakan orang-orang pedalaman Indonesia tidak begitu menggemari makanan laut. Mungkin akibat kebiasaan menu ikan tidak ada, daya beli rendah, atau alergi. Namun, masalah ini masih bisa diatasi dengan mengganti ikan laut dengan rumput laut.
Jepang adalah negara terdepan dalam konsumsi rumput laut, dan kasus kekurangan yodium juga sangat rendah di negara tersebut. Di sana, rumput laut diproses menjadi anyaman halus yang disebut nori. Nori ini dipakai sebagai berbagai pembungkus makanan, misalnya nasi kepal (onigiri) atau sushi. Selain itu, juga dipakai sebagai campuran penyedap rasa pada mi rebus, seperti ramen atau soba. Mungkin seandainya kita mau meniru, misalnya daun pisang pembungkus lemper diganti lembaran rumput laut, atau mi bakso maupun mi pangsit dibubuhi penyedap dari rumput laut, maka kasus kekurangan yodium akan berkurang di negeri ini.
Pentradisian penggunaan makanan laut hendaknya terus digalakkan karena lebih dari 70 persen dari luas wilayah negeri ini adalah laut.
———
Ditulis oleh Zeily Nurachman (Guru biokimia di Departemen Kimia ITB) dan Sarwono Hadi (Guru kimia dasar di Departemen Kimia ITB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar